PADA APRIL 2006, beberapa anggota DPRD Kota Pematang Siantar, Sumut, dan pejabat pemerintah berusaha melenyapkan sepeda motor merek Birmingham Small Arm (BSA) dari situs sejarah Kota Siantar. Padahal, di dunia ini, sepeda motor merek BSA yang masih tegar menjelajah jalanan hanya ada di Siantar.
Sepeda motor merek Birmingham Small Arm (BSA) adalah kendaraan perang pabrikan Inggris yang diciptakan di tahun 1940-1960-an. Di Siantar, jumlahnya masih cukup banyak, sekitar seribu unit. Sebagian besar sudah dikomersilkan karena dirombak menjadi becak. Hanya sebagian kecil yang dikoleksi para kolektor.
Secara universal, motor BSA masuk ke negeri gemah ripah loh jenawi ini pada masa peralihan tentara Jepang ke tentara Sekutu (Belanda-Inggris). BSA kemudian menyebar ke setiap daerah jajahan Belanda, termasuk ke Siantar. Tapi tak banyak yang mengetahui jika masuknya motor BSA dalam jumlah besar ke Siantar bukanlah dibawa tentara-tentara Belanda.
“BSA adalah sisa-sisa perang dunia kedua. Belanda yang membawanya ke nusantara ini. Tapi walau sebelumnya sudah ada motor BSA dalam jumlah kecil di Siantar, masyarakat Siantar sendiri yang berperan besar membawa BSA masuk ke kota berhawa sejuk ini,” kata Erizal Ginting, Ketua BSA Owners Motorcycle Siantar (BOM’S). Apa buktinya?
Ketika penjajah minggat dari Indonesia, motor-motor BSA kehilangan tuannya. Tak ada sparepart dan teknisi yang mumpuni di Indonesia. Nasib Motor BSA pun berakhir tragis. Ada yang ‘tergolek’ di gudang atau yang terdampar di jalanan. Motor BSA jadi barang rongsokan. Adalah Mbah Lanang (67 tahun), sesepuh di pengurusan BOM’S.
Mbah Lanang bercerita, tahun 1958, ia dan rekan-rekannya berburu BSA ke pulau Jawa: Surabaya dan Jakarta. Kedua provinsi ini adalah sarangnya motor BSA. Lalu motor BSA diangkut dengan Kapal Tampomas II dalam jumlah besar. Kemudian sekitar tahun 1960-an, Mbah Lanang dan rekan-rekannya menjadikan motor BSA menjadi becak. Itulah awalnya Kota Siantar dikenal sebagai ‘Kota Becak BSA’.
“Saya mengetahui sejarah masuknya BSA ke Siantar. Mbah Lanang menjadi salah seorang saksi sejarah yang mendatangkan BSA ke Siantar ini,” ujar budayawan Siantar yang memperistri seorang dokter ini.
Sejarah BSA di Kota Siantar pun dimulai. Ketiadaan sparepart dan teknisi mulai bisa dipecahkan agar nasib motor BSA tidak tragis seperti di Surabaya dan Jakarta. Maka, dengan kerja keras, orang-orang Siantar menciptakan sendiri sparepart BSA yang tak mungkin didatangkan dari luar negeri. Orang-orang Siantar pun, terutama pemilik motor BSA, mulai belajar membedah mesin BSA.
Perlahan kedua persoalan penting itu tak lagi menjadi masalah besar. Siantar sudah bisa menciptakan sendiri onderdil untuk motor BSA. Ini bisa dilihat dengan berdirinya pabrik-pabrik mini motor BSA di Siantar. Becak BSA pun tegar menjelajahi jalanan di Kota Siantar. Suaranya hingar-bingar. Genjotannya mantap karena dipasang per mobil di bawah gandengan.
Sejarah rupanya bukan lorong lempang. Sekelompok anggota DPRD Siantar mulai mewacanakan penghapusan BSA dari kota yang pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Utara ini. Kejayaan becak BSA mulai terusik. Alasan penghapusan BSA sungguh sangat sederhana. Motor BSA dikatakan tidak efisien dan sudah kuno.
“Itu terjadi bulan April dan Juli tahun 2006. Beberapa anggota dewan termasuk oknum di pemerintahan berusaha melenyapkan BSA dari situs sejarah Kota Siantar demi menggolkan kepentingan penguasa. Kenapa para penguasa itu tidak mengangkat potensi becak BSA agar menjadi komoditi wisata?” tanya Erizal.
Nah, berawal dari ketertindasan itu, lahirlah komunitas para penggemar motor BSA yang bernama BOM’S. Erizal Ginting kemudian diangkat menjadi ketua. Selain sebagian besar beranggotakan para abang becak, anggota BOM’S juga terdiri dari kolektor dan penggemar motor.
“Di bumi ini, motor BSA yang masih gagah dan tegar berpetualangan di jalan hanya ada di Kota Siantar. Kenapa malah mau dihapuskan dan menggantinya dengan becak-becak modern buatan Jepang. Ini sungguh ironis. Pemerintah berusaha menghapus sejarah. Padahal sebagian besar warga Siantar terdiri dari keluarga abang-abang becak,” tandas penulis buku ‘Sejarah Siantar’ ini.
Bisa dipahami jika Erizal Ginting berang. Pasalnya, selain seorang budayawan, Erizal Ginting adalah seorang kolektor. Di rumahnya tersimpan sepeda BSA tahun 1937, motor BSA M20 bermesin 500 cc tahun 1940, BSA 2B31 bermesin 350 cc tahun 1953, Vespa bermesin 150 cc tahun 1957, dan Vespa Kongo tahun 1960.
Erizal mengungkapkan, Siantar ternyata kota paling banyak menyimpan motor BSA dengan jumlah sekitar seribu unit. Inggris sebagai pembuat motor BSA hanya memiliki motor BSA sekitar 800 unit, disusul Australia 400 unit, Firlandia 250 unit. Dan sekarang kata Erizal, sedang mewabah club-club motor BSA di seluruh dunia.
“Ini bukan sekadar cerita. Saya punya bukunya. Malaysia yang hanya memiliki seratusan BSA saja sudah mulai menggalakkan perkumpulan motor BSA untuk mendorong pariwisata,” kata Erizal sambil menyodorkan majalah otomotif terbitan Malaysia. “Nah, kenapa BSA di Siantar ini hendak diberangus.”
Sejauh ini, Kota Siantar menjadi surga bagi para kolektor motor-motor tua khususnya bermerek BSA. Sebagian besar para kolektor datang dari pulau Jawa. “Kolektor-kolektor itu terdiri dari pejabat pemerintahan. Perwira TNI yang telah pensiun sampai selebritis. Anang Krisdayanti sendiri menjadi salah seorang kolektor motor BSA. Saya pernah bertemu Anang di Jakarta dan melihat motor BSA-nya,” ujar Erizal.
Sebagai seorang kolektor, Erizal mengetahui persis harga pasaran seunit motor BSA di Kota Siantar. Untuk BSA standar (belum modifikasi) harganya mencapai Rp15 juta sampai Rp20 juta. Sedangkan untuk motor BSA standar original harganya berkisar Rp20 juta – Rp30 juta. Yang menarik untuk disimak, ketika motor BSA dibawa keluar dari kota Siantar, beberapa tahun kemudian motor BSA itu kembali ke Kota Siantar. Apa lacur?
Rupanya tidak mudah mencari teknisi dan sparepart di luar kota. “Cuma di Siantar ada pabrik onderdil becak dan teknisi-teknisi andal. Nah, ketika BSA itu rusak terpaksa dipanggil teknisi dari Siantar untuk memperbaiki. Tak sedikit motor BSA yang terpaksa kembali ke Siantar,” kata Erizal.
Erizal berharap, Pematangsiantar sebagai kota nomor dua terbesar di Sumatera Utara tidak hanya sebagai kota transit, pintu gerbang pariwisata. Potensi sejarah harus dapat menjadikan Pematangsiantar sebagai kota pariwisata. Setidaknya ini bisa tercermin dari perayaan ulang tahun BOM’S ke-1 yang di pusatkan di Lapangan Haji Adam Malik baru-baru ini.
Perayaannya cukup meriah. Bisa dikatakan sepanjang sejarah berdirinya komunitas motor tua di Kota Siantar, baru kali itulah perayaannya dihadiri 20-an club penggemar motor tua berbagai merek. Mulai vespa, motor lawas buatan Jepang sampai club motor roda empat yang datang dari penjuru Sumatera, bahkan dari Kota Yogyakarta. Di situ pula bisa ditemukan motor tua merek lain seperti BMW, Ducati, Norton, Ariel, DKW, BSA, sampai Honda tua yang masih original.
Jika direnungkan, ini pertanda baik bagi pemerintah kota. Sebab, dengan even seremoni sekelas ulang tahun saja, panitia penyelenggara bisa mendatangkan pengunjung dalam jumlah tiga ribuan. Bagaimana jika dikelola dengan baik, semisal dibuat kalender wisata, tentu akan bisa mengangkat dunia pariwisata Siantar yang selama ini hanya sebagai pintu gerbang wisata.
“Hotel akan penuh. Lowongan kerja bisa tercipta. Pemerintah juga kebagian untung karena ada uang masuk ke PAD-nya. Dan saya akan tetap berjuang agar BSA punya perda sendiri dan menjadi satu-satunya alat transportasi pariwisata. Selain itu BSA harus disubsidi seperti barang-barang kuno yang ada di museum,” tukas Erizal.
Dengar-dengar, rencana penghapusan becak BSA adalah karena adanya kesepakatan pengusaha otomotif dengan oknum anggota DPRD agar mengganti becak Siantar dengan becak buatan Jepang. [www.blogberita.com]
0 Komentar