Saat masih menyandang status single, ada satu hobi
yang sering saya lakukan. Touring (naek motor, baik sendiri maupun rame-rame).
Ada satu rute yang selalu saya lalui saban
3 bulan sekali, Pematang Siantar – Medan. Mengapa sering melalui rute ini ? Ya iyalahh....ntu kan perjalanan pulang
kampung ^^
Pematang Siantar – Medan berjarak sekitar 130 km
(tepatnya 129,6 km). Memerlukan waktu sekitar 3 jam (kondisi jalan lancar). Dan
untuk mencapai rumah saya, dari pusat kota Pematang Siantar harus menempuh
jarak sekitar 30 km. Jadi jarak yang harus saya tempuh jika pulang kampung 160
km dalam waktu 3 jam 30 menit. Tapi biasanya menghabiskan waktu 4 jam lebih (maklum, dijalan diselingi dengan istirahat).
Pernah juga
sich, dalam beberapa kesempatan Pematang Siantar – Medan ditempuh dalam
waktu 2 jam 30 menit (nih dah sampe rumah
loch). Bahkan mencapai Kota Tebing Tinggi dalam waktu 1 jam (haaa....serius loe!!).
Benereran, ini serius. Saya aja mah sempet
ga percaya juga. Oh ya Medan – Tebing Tinggi berjarak 80 km (Tepatnya rute yang harus saya lalui itu ;
Medan – Lubuk Pakam – Serdang Bedagai – Tebing Tinggi – Pematang Siantar)
Bukan bermaksud ugal-ugalan, bukan juga bermaksud gaya-gayaan. Dalam perjalanan
pulang tersebut, ada satu motor yang
mencuri perhatian saya. Gaya berkendara si empunya terlihat elegan (gak asal nyalip kendaraan, selalu kasih kode
kalo mo mendahalui kendaraan didepan – kasih lampu sign n klakson). Saya
mencoba untuk mengikutinya, hingga tanpa saya sadari speedometer tembus angka
100 (tepatnya 110). Jarang motor dengan kapasitas mesin 110-113 cc bisa
menembus speed 100. Kalaupun tembus 100 dapat dipastikan tuh motor ga stabil
dibawa.
Laa..... sayanya mah malah bisa tembus –
rada sedikit goyang sich tuh motor – ditambah lagi motor yang saya kendarai
berjenis matic. Bahkan beberapa kali
kami saling mendahului. Hingga disatu kesempatan, motor kami berhenti bersisian
di Tebing Tinggi saat berada di lampu merah. Saat beradu pandang, saya buka
kaca helm dan melempar senyum padanya. Hal yang sama juga dilakukan olehnya (bahasa non verbal ala biker) ^__^
Kawan......
Terkadang tanpa kita sadari, kondisi kita dipengaruhi
oleh orang-orang disekitar kita. Jika kita bertemu seseorang yang selalu
tersenyum ramah, coba lihat bagaimana kondisi sosialnya. Dengan siapa dan
dimana ia berinteraksi. Lihat juga orang yang senantiasa menghiasi lidahnya
dengan perkataan yang sia-sia. Makian dan umpatan yang sering diucapkan.
Lingkungan ternyata menjadi salah satu faktor (bahkan menjadi faktor terbesar) yang
turut membentuk karakter seseorang. Lihatlah Ali bin Abi Thalib. Secara fisik
ia memang tak sekekar Umar bin Khatab. Tak segagah Hamzah bin Abdul Muthalib.
Tapi ia memiliki keberanian yang luar biasa. Sejarah mencatat, dalam komandonya
umat Islam memenangi Perang Khaibar. Bahkan dalam usianya yang masih belia,
beliau dengan berani menjadi tameng untuk Rasulullah SAW dengan berpura-pura
menjadi Rasulullah yang berbaring di kasurnya saat peristiwa hijrahnya
Rasulullah bersama Abu Bakar Shiddiq ke Madinah.
Mengapa Ali bin Abi Thalib bisa tumbuh menjadi
pribadi yang tangguh ? Tak lain karena sedari kecil beliau dibawah pengasuhan
Rasulullah SAW dan tumbuh di tengah para sahabat yang dengan teguh tetap
memegah keyakinannya diawal dakwah Islam.
Menjadi pribadi yang baik tentu harus bersentuhan dan
berada di lingkungan yang baik pula. Tak heran Rasulullah SAW mewanti-wanti kita untuk berhati-hati
dalam memilih teman.
Jika engkau
ingin melihat kepribadian seseorang, maka lihatlah kepada siapa ia berteman.
Salah satu hobi saya adalah menulis. Sedari SD suka
jika ada tugas mengarang. Bahkan saat di SMP guru Bahasa Indonesia sampai tak
mau memberikan nilai untuk karya puisi saya. Sempat dikatakan kalau puisi
tersebut jiplakan (Mungkin terlalu bagus
kali yach untuk ukuran anak SMP) ^^
Untuk pertama kalinya dalam ‘sejarah kependidikan’
saya, entah dari mana keberanian muncul. Dihadapan guru tersebut, saya ngomel
tanpa henti memprotes sikapnya. Bahkan sampai membanting buku saat berada di
meja saya. (jangan ditiru yach)
Saat SMA malah rutin ngisi buku Diary (sampe sekarang tuh
buku masih ada dan slalu senyum menghias bibir tatkala kembali membacanya)
Seiring waktu, hobi menulis tak hilang. Hanya
frekuensi tuk menyalurkan sangat jarang. Di jaman kuliah, salah satu kegiatan
mengisi waktu luang adalah ngeblog.
Tapi tak juga continue. Beberapa kali
kirim naskah (baik cerpen maupun puisi) ke beberapa media cetak.
Hasilnya.....Alhamdulillah, tak ada jawaban atau ditolak (hehehe...senyum kecut dach)
Hingga akhirnya saya tergabung di sebuah group Whatsapp.
Group yang dengan caranya yang unik memotivasi para membernya untuk menghasilkan karya orisinil. Sang ‘Lurah’ di group tersebut
tanpa tedeng aling-aling membuat
peraturan yang jleb banget “Tiap
anggota wajib setor karya tulis sebulan minimal satu. Kalau tak sanggup
silahkan out” – Saya langsung
membayangkan si empunya group ngomong langsung – (sedikit banyak tau banget karakter orang Batak) ^^
Cara unik lain menurut saya, setorannya bukan di copy
full ke WA, tapi harus di share melalui link (mau gak mau harus punya akun
fb/wordpress/blogger). Pola menyemangati antar anggota juga unik pula. Mulai
dari membuat rule game karya tulis, cerita
bersambung (bener-bener bersambung, karna
tiap anggota langsung nyamber kelanjutan ceritanya).
Semangat mereka, menumbuhkan semangat saya pula. Tak
hanya semangat menulis, semangat berbagi juga turut ngikut. ^^
Walaupun belum rutin, setidaknya blog yang saya kelola hidup kembali.
(Ehhh...
bocoran, nama group Whatsappnya Kampoeng
Kata-Kata)
Finally....
Berbaurlah dengan komunitas yang selalu memberikan
input yang positif. Yang selalu menyalurkan energi kebaikan. Yang selalu
bersaing dalam kebenaran. Yang tak lelah dan tak bosan untuk saling menguatkan
dan mengingatkan.
0 Komentar