Selalu ada cerita yang
sama di tiap momen “pembagian”. Entah itu pembagian zakat di akhir Ramadhan,
pembagian paket sembako di setiap acara bakti sosial, atau bahkan di pembagian
daging qurban di hari raya Idul Adha.
Ya....
Cerita itu adalah
munculnya segolongan orang yang merasa tidak mampu secara materi.
Uang dan barang kebutuhan selalu menjadi magnet untuk mendekat padanya. Memang,
sifat dasar manusia selalu menjauhi kesulitan dan mendekat pada kemudahan (kenyamanan-red). Semakin nyaman suatu
kondisi, maka akan semakin dekatlah ia. Nyaman dengan kondisi selalu menerima,
sehingga tidak perlu harus menguras keringat. Apalagi membanting tulang. ^^
Lalu, dimana letak
benang merah antara merasa tidak mampu dengan borjuis ?
Secara etimologi,
borjuis/borju berasal dari bahasa Perancis “bourgeois”
yang artinya adalah kelas untuk warga yang sebelumnya adalah anggota yang
kaya dalam Golongan
Ketiga. Secara
sederhana diartikan sebagai kalangan kelas atas (highclass). Sering kita menyebutnya orang-orang kaya yang selalu glamour dalam setiap aktivitasnya.
Nah, Borjuis Qurban
bukan mereka yang secara materi kaya raya kemudian menyembelih hewan untuk
qurban dalam jumlah yang banyak. Tetapi mereka yang senantiasa merasa tidak
mampu secara materi. Kalangan kelas atas dalam hal menerima qurban, bukan memberi.
Jika kita berasumsi bahwa Idul Adha adalah momen untuk saling berbagi, tak ada
yang salah dengan sikap mereka. Tapi ini akan menjadi masalah jika dikemudian
hari menjadi suatu kebiasaan dan akhirnya menjadi tradisi. Saya masih ingat,
saat menjadi panitia qurban dan tiba waktu pembagian daging. Ada seorang ibu
paruh baya yang mendatangi kami panitia qurban dan memprotes cara pembagian
qurban dengan nada yang nyinyir. Intinya
beliau tak terima dirinya yang tidak memperoleh jatah daging qurban. Padahal
secara ekonomi tak sedikitpun tergambar bahwa beliau dalam kondisi kekurangan.
Rasulullah SAW
mengingatkan kita dalam salah satu hadits ;
"Tangan yang diatas lebih baik daripada tangan yang dibawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-baik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barang siapa menjaga kehormatan dirinya maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya."
(H.R. Bukhari-Muslim)
Apa jadinya kita, jika
tertanam dalam diri mental penerima bukan pemberi. Bukankah para pendahulu kita
telah mencontohkan semangat untuk selalu memberi. Lihatlah, Abu Bakar Siddiq ra
selalu berlomba dengan Umar bin Khatab ra memberi yang terbaik untuk agama yang
telah diwahyukan kepada Baginda Rasulullah SAW.
“Apa yang akan kalian berikan untuk kemenangan dakwah ini ?” tanya Rasulullah SAW suatu ketika.
“Akan aku sedekahkan
separuh dari hartaku...!!” Teriak Umar bin Khatab ra dengan lantang.
“Aku akan sedekahkan
seluruh hartaku” Jawab Abu Bakar Siddiq ra dengan mantap.
“Wahai Abu Bakar, apa
yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ? “ tanya Rasulullah SAW kembali.
“Cukuplah Allah dan Rasul-Nya
sebagai jaminannya.....”
Subhanallah !!
Idul Adha seyogianya
memberi pelajaran bagi kita untuk senantiasa memberikan yang terbaik. Lihatlah
Nabi Ibrahim as, yang karena ketaatannya kepada Allah rela mengurbankan anaknya
Ismail. Anak yang bertahun-tahun dinantikan kelahirannya. Setelah lahir harus
ditinggalkan dan bertemu kembali saat Ismail beranjak remaja. Bayangkan,
bagaimana berkecamuknya hati Nabi Ibrahim saat itu.
Mari kita maknai Idul Adha sebagai momen untuk menjadi
pribadi pemberi. Jika pun tak mampu memberi, cukuplah kita menahan diri dari
meminta-minta.
"Jika merasa cukup (dengan karunia Allah) maka Allah akan mencukupinya"
2 Komentar
Subhanallah sangat menginspirasi..
BalasHapusTerima kasih ya mas..
Salam kenal Saya teman satu kelas di KMO 4D
http://www.ronnydepu.com/
Alhamdulillah......
BalasHapusMakasih mas Ronny uda silaturrahim dimari ^_^