Hati ini selalu dibekap rindu manakala
ada kesempatan mengunjungi Bapak di kampung. Tak hanya rindu pada sosoknya yang
kini menua dan harus tinggal sendiri di rumah yang terasa semakin luas. Tapi
rindu akan suasana rumah yang telah menaungi saya semenjak duduk di bangku SMP
hingga tamat SMA. Walau kini rupanya telah berganti, selalu saja ada jejak
kerinduan yang tertinggal. Rumah sederhana yang dibeli Bapak dari uang
pensiunannya dan pada akhirnya harus direnovasi mengingat rumah mungil tersebut
terasa sempit manakala anak-anaknya berkumpul di setiap akhir tahun atau ketika
lebaran.
Duduk di dekat jendela rumah selalu mengingatkan
saya dengan setumpuk novel Wiro Sableng yang siap untuk dibaca dan alunan lagu
Sheila On 7. Aktivitas yang senantiasa saya lakukan dulu di setiap libur
sekolah. Atau saat berada di dapur rumah, selalu terbayang dengan bunyi tetesan
air hujan yang masuk di sela-sela atap yang bocor. Mengiringi obrolan saya dan
almarhum Ibu sembari mencomot ubi
rebus yang tersaji di meja makan. Semuanya seperti tayangan slide yang melintas manakala saya
kembali ke rumah, walaupun segalanya telah berubah.
Apapun kondisi dan suasana rumah kita
waktu itu, pasti ada rindu yang tersisa. Itu barangkali yang menjelaskan
mengapa kebanyakan orang rela melakukan apa saja untuk bisa kembali ke kampung halamannya,
meski untuk waktu yang tidak lama.
Ya..... Rindu yang menggerakkan langkah
kita untuk menengok jejak masa lalu,
meski untuk sesaat. Bagi kita yang tak pernah kemana-mana, kerinduan itu
pastilah juga mengaduk-ngaduk perasaan. Meski sekedar membayangkan kembali
kondisi dan suasana rumah yang dulu.
Sejauh apapun kita melangkah kini, jejak
masa lalu memang sulit dilupakan. Terutama pada rumah, tempat kita melabuhkan
segala lelah. Tempat kita tumbuh bersama orang-orang terdekat. Tempat kita
mencari rasa aman dari liarnya cuaca dan gelap malam. Tempat kita memainkan
peran, entah sebagai orang tua, anak atau saudara. Tempat kita membangun
mimpi-mimpi masa kecil.
Begitu pentingnya peran sebuah rumah. Ia
tak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan. Tapi lebih
dari itu, ia turut berperan membentuk karakter kita. Lihat lah Salman Al-Farisi,
sahabat yang agung itu pada mulanya tak memiliki rumah. Tempat berteduhnya tak
lebih sebuah tempat yang amat sederhana. Bila ia berdiri, kepalanya terantuk.
Bila ia tidur, kakinya terjulur keluar. Sampai suatu hari para sahabatnya
mendesaknya untuk dibuatkan rumah.biarpun kecil rumah itu memiliki fungsi
secara fisik. “Agar engkau bisa berteduh dari panas dan berlindung dari
dingin”. Begitu kata para sahabatnya. Hingga akhirnya Salman pun berkenan.
Rumah kita yang dulu tidak sekedar
bangunan berbentuk kotak, yang hanya layak dikenang karena kita terlahir atau
besar didalamnya. Tapi rumah itu memiliki keunikan, apapun itu. Keunikan yang
paling utama adalah pengaruhnya yang besar dalam membentuk diri kita. Luasnya
membentuk cara kita memandang kelapangan. Sempitnya membentuk cara kita
menyiasati keterbatasan. Riuhnya membentuk cara kita belajar toleransi dan
kebersamaan. Dan sepinya membentuk cara kita mengatasi kesendirian. Setiap kita
pasti bisa merasakan jejak diri di rumah kita yang dulu.
Seperti apapun rumah kita, ia cermin
tentang kita. Maka kita dan rumah kita akan saling memantulkan karakter diri.
Seperti apa nilai-nilai yang kita anut di rumah kita, akan sangat mempengaruhi
karakter kepribadian kita. Itu sebabnya Rasulullah menasehati agar kita menjadikan
rumah kita hidup, dan tak membiarkannya sunyi seperti kuburan. Caranya dengan
menghidupkan ibadah-ibadah sunnah di rumah.
“Jadikanlah
sebagian dari shalat kalian dilakukan di rumah kalian dan jangan jadikan rumah
kalian seperti kuburan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rumah kita sangat mungkin lebih besar
dari rumah Salman Al-Farisi. Entah seperti apa rumah kita, atau sudah berapa
yang kita tinggali, kita pasti bertumbuh dengan cara-cara yang kita dapati di
rumah. Maka rumah adalah wajah lain kita, dan kita adalah wajah lain dari rumah
kita. Kita rindu rumah bukan semata sebagai house,
tetapi sebagai home. Rumah dengan
segala aktivitas sosialnya. Sehingga, kerinduan pada rumah kita yang dulu
sejatinya merupakan kerinduan kita pada kehidupan itu sendiri.
Inspiring from : Tarbawi Magazines
2 Komentar
Great article! Perbedaan house dan home, apakah perbedaan secara harfiah atau memang ada perbedaan maknya dari keduanya?
BalasHapusRumah.. apalagi rumah orang tua, pasti tempat yang selalu membangkitkan kenangan indah masa kecil. Ingatan saya rumah dikampung kelahiran jadi makin kuat..
BalasHapusRumah adalah tempat kita pulang