Cerita di bangku
sekolah selalu memberi warna tersendiri. Ada kegembiraan yang berbeda. Ada
perbedaan dan perselisihan yang senantiasa mengiringi. Beda ‘masa’ beda pula
cerita. Saya turut bersyukur termasuk orang yang melalui fase sekolah tanpa
‘campur tangan’ teknologi yang berlebih. Sehingga jalinan persahabatan yang
terjalin masih alami.
Saya masih teringat,
saat duduk di bangku SMP hanya beberapa teman yang memiliki telepon rumah. Dan
dapat dipastikan ia tergolong keluarga yang berada. Keluarga yang taraf ekonomi
diatas rata-rata masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Tak ada smartphone, belum kenal internet dan
teknologi masa kini yang begitu memanjakan. Pada masa ini wajib memiliki teman
satu kampung yang bersekolah di sekolah yang sama. Mengapa? Agar kita bisa
meminjam buku catatan pelajaran jika absen sekolah. ^^
Jarak antara rumah dan
sekolah tergolong cukup jauh. Harus ditempuh dengan mengendarai bus. Saya ingat
sekali, pada masa ini sangat sedikit bus yang mau mengangkut anak-anak siswa
SMP. Sebab, ongkosnya tergolong sangat murah. Saat itu sekali jalan dikenakan
ongkos sebesar Rp. 100,- . Saat saya duduk di kelas Tiga, ongkos mengalami
kenaikan menjadi Rp. 200,-
Sungguh masa yang
sangat amazing. Bayangkan, dengan
membawa uang Rp. 500,- sudah bisa jajan di sekolah. Bahkan saat pulang ke rumah
masih bisa membawa sisa uang sebesar Rp. 100,-
SMP Negeri 2 namanya.
Berada di Desa Bangun 13 Kabupaten Simalungun. Dikatakan Bangun 13 karena
berada di kilometer 13 dari pusat kota Pematang Siantar. Di sekolah inilah saya
terdaftar sebagai salah satu siswanya.
Sekolah luas dengan hamparan hijau rumputnya. Satu hal yang membuat saya
merasa betah berlama-lama di sekolah.
Nervous
juga saat pertama kali menginjakkan kaki di sekolah, melihat jumlah siswanya
yang banyak. Beruntung rasa nervous tak
terbawa saat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Bahkan di catur wulan pertama
saya bisa meraih ranking 2. Prestasi yang cukup membanggakan diawal sekolah.
Ternyata di SMP Negeri 2 punya semacam
tradisi, dimana siswa yang rankingnya masuk 10 besar disatukan dalam satu
kelas. Kami menyebutnya dengan Kelas Unggulan. Kelas dengan
kumpulan anak-anak pintar (hadeuh, bukan
bermaksud sombong loo...). Kelas predikat 1 tentunya. Masing-masing
tingkatan ada 4 kelas (Kelas I-1, I-2, I-3, I-4,
dan seterusnya).
Sebenarnya cerita
sekolah di SMP hampir sama dengan di SD. Tak terlalu istimewa maksudnya. Tapi
saat kelas tiga, cerita sekolah semakin berwarna. Salah satunya adalah saya
baru merasakan arti sebuah persahabatan. Yups.... di kelas inilah kami menjadi
lebih kompak dan padu. Bahkan hal ini diakui oleh guru-guru yang ada di SMP
Negeri 2. Ada satu peristiwa yang mengundang senyum. Saat salah satu teman
sekelas ke sekolah memakai sandal. Ternyata tuh
sandal kena razia. Kami ramai-ramai datang ke kantor BP meminta sandal yang di
razia. Sampai beradu mulut dengan guru BP. Akhirnya dilerai oleh wali kelas dan
sandal dikembalikan. Bukan bermaksud sok
jagoan kami beramai-ramai minta dikembalikan sandal yang dirazia. Karena kami
punya alasan kuat, bahwa teman tersebut memakai sandal karena jempolnya sakit.
Selain itu, jangan
khawatir jika dari rumah tidak membawa uang jajan. Sebab selalu ada teman yang
mentraktir makan. Kalau tidak diajak ke kantin makan semangkuk mie sop, minimal
dibawain bakwan atau pisang goreng. Alhamdulillah
saya termasuk yang tidak pernah absen bawa uang jajan dan hampir tiap hari
dapat jajanan gratis. Mengapa?
Di kelas ada trio heboh, tiga orang perempuan (lebih tepatnya dua orang) dengan
tingkahnya yang selalu mencuri perhatian kelas. Dua orang tomboi mengapit satu
orang yang feminim. Yup.... merekalah Ainun, Ana dan Winni. Kebetulan mereka
bertiga duduk berdekatan dengan saya. Bahkan saya dan Ainun satu bangku. Duo tomboi inilah yang setiap kali jajan
tak cukup membeli satu atau dua jajanan. Bahkan seringkali kantong mereka
selalu penuh dengan jajanan. Dan saya sering kali ketiban ‘apes’nya, karena harus menghabiskan jajanan yang berlebih
(he..he..he..). Acapkali masuk
terlambat ketika bel masuk kelas setelah istirahat berbunyi seolah menjadi ciri
khas mereka bertiga. Tetapi yang membuat saya respect adalah ditengah sikap mereka yang semau gue, ada capaian prestasi yang diraih. Ainun yang selalu cuek
ternyata rankingnya selalu masuk ke dalam jajaran 5 besar di kelas. Capaian yang
belum pernah saya peroleh selama berada di kelas tiga. Sedangkan si bucek --bulek ecek-ecek-- (begitu kami selalu memanggil Ana karena parasnya
yang khas Pakistan) adalah ketua kelas kami. Sueerr !!! Ketua Kelas Unggulan.
Belum lagi tingkah laku
teman-teman yang lain. Muhammad yang ngocol,
Heru yang sok keren, Sidiq yang
gemulai nan rajin, dan masih banyak lagi beragam karakter yang mewarnai kelas
kami. Dan ini yang mencuri perhatian saya. Entah mulai kapan saya sering
memperhatikan tingkah laku teman-teman.
Dan sampai sekarang,
jalinan persahabatan itu masih sangat terasa. Apalagi jika berkunjung ke rumah
mereka. Ada satu peristiwa yang jika mengingatnya membuat saya tersipu malu. Saat
silaturrahim ke rumah Sudarno (salah satu
sahabat terbaik yang pernah ada), ibunya langsung menyambut dan memeluk
saya. Hadeuuu..... jadi kikuk. Mungkin
karena sudah lama tak bertemu. Maklum dulu sering nginap di rumahnya.
Ternyata, sahabat itu bak bintang di langit. Kilaunya yang
hanya bisa dinikmati pada malam hari justru menimbulkan kerinduan. Beruntung saat
ini medsos mudah untuk diakses. Dari sanalah
jalinan silaturrahim dengan para sahabat kembali terajut. Bahagia rasanya saat
kembali menemukan mereka dengan rupa yang dewasa. Saat SMP tingkahnya semau gue, ternyata kini telah berjilbab
rapi, anggun dan semakin dewasa.
Sahabat, ia bagai
bintang di langit. Tak selalu tampak tapi selalu ada, di hati......
2 Komentar
Ingin rasanya kembali kemasa itu oooh massa yang gak akan bisa kembali dan tak terlupakan
BalasHapusSweet memory^^
BalasHapus