-
“Ma.....ambilin minuummm!!”
+ “Laaa....
minumnya kan disebelah kamu loh dek, ambil sendiri napa...”
- “Gak
mauuu..... cepet ambilin!!”
Aku hanya bisa tersenyum kecil
menyaksikan adegan di depan mata. Hal yang sebenarnya wajar, tapi menjadi tak
wajar menurutku. Tak wajar mengingat anak tersebut sudah memasuki usia sekolah.
Berbeda jika si anak masih usia balita. Hal tersebut mungkin wajar. Aku katakan
‘mungkin’ karena si anak tetap bisa diajarkan mengambil minuman sendiri.
Lalu jika anak sudah terbiasa
memerintah, apakah hal ini dibiarkan saja? Atau harus disikapi secara
berlebihan? Dikatakan berlebihan karena ditanggapi dengan cara dan pola orang
dewasa. Jika sudah demikian, dimana letak kesalahannya? Jika ingin mengurai dimana
letak kesalahannya, bolehlah kita mundur sejenak ke masa anak-anak dalam usia
balita.
Golden Age (masa emas) adalah masa dimana kemampuan otak
anak untuk menyerap informasi sangat
tinggi. Apapun informasi yang diberikan akan berdampak bagi anak di kemudian
hari. Bersyukur jika informasi-informasi yang diserap positif. Tentu akan memberi
dampak yang positif. Begitu pula sebaliknya....
Beberapa pakar berbeda pendapat
mengenai rentang waktu masa Golden Age.
Ada yang mengatakan berkisar 0 – 2 tahun, 0 – 3 tahun, 0 – 5 tahun, atau 0 – 8
tahun. Namun semua sepakat bahwa awal-awal tahun pertama kehidupan anak adalah
masa-masa emas mereka. Oleh karena itu, masa Golden Age sering dikenal pula dengan ‘masa-masa penting anak yang
tidak bisa diulang’. Dimasa inilah peran orang tua dituntut untuk bisa
mendidik dan mengoptimalkan kecerdasan anak baik secara intelektual, emosional
dan spritual.
Lalu apa saja yang bisa dilakukan
oleh orang tua agar bisa lebih memaksimalkan masa-masa Golden Age? Beberapa hal yang perlu kita perhatikan, antara lain :
1. Sering
mengajak ke alam terbuka. Tak bisa dipungkiri, alam adalah
tempat bermain yang ideal untuk merangsang rasa keingintahuan anak. Lihatlah
ekspresi mereka ketika melihat burung yang terbang atau kodok yang melompat. Hal
baru bagi mereka tentu merangsang keingintahuan mereka pula. Maka anak akan sangat
rajin bertanya. Hal inilah yang perlu diperhatikan orang tua. Para orang tua
wajib mempersiapkan rasa sabar dalam diri untuk melayani
pertanyaan mereka. Biasanya tak cukup satu kali mereka bertanya. Dan pertanyaan
yang sama sering diulang-ulang oleh mereka.
2. Anak adalah
peniru ulung. Jika diadakan kontes untuk menirukan apa yang
dilihat, maka yang keluar sebagai pemenang adalah anak-anak. Yup... merekalah makhluk-makhluk dengan
kemampuan meniru yang luar biasa. Dan
inilah peluang terbesar orang tua untuk membentuk karakter anak. Tak usah capek
teriak-teriak memerintah untuk melakukan apa yang diinginkan, cukup berikan
mereka contoh nyata. Dengan menjadi teladan bagi mereka, maka akan menjadi
stimulus yang efektif. Jika orang tua senang membaca, kemungkinan besar anak
akan demikian.
3. Jangan
memberikan target. Tanpa sadar para orang tua sering menerapkan hal ini
dalam proses mendidik anak. Usia 2 tahun harus bisa mengenali warna, usia 4
tahun harus masuk sekolah dan mulai belajar calistung. Usia 5 tahun harus bisa
membaca Al-Qur’an. Sekilas tak ada yang salah dengan target-target tersebut. Tetapi
hal ini justru membuat anak merasa tertekan. Mereka akan berusaha mati-matian
menyenangkan orang tuanya walaupu hati mereka tak bahagia. Akan lebih efektif
jika kita menghargai atas usaha-usaha yang dilakukan mereka, walau terkadang
tak sesuai dengan harapan kita sebagai orang tua.
4. Jangan
pelit pujian. “Subhanallah,
baik kali abang mau ngasih mobil-mobilan ke adek”, pujian yang diberikan
orang tua melihat si sulung mau berbagi mainan dengan adiknya. Sesuatu yang
kita anggap biasa, tapi bisa berarti luar biasa bagi mereka. Dengan input
positif berupa pujian atas perbuatan yang mengandung kebaikan, maka otak bawah
sadar anak akan menangkap untuk sering berbuat kebaikan-kebaikan lainnya. Tapi
perlu juga diingat tak berlebihan memberi pujian. Pun... saat anak melakukan
kesalahan, jangan ragu untuk menegurnya. Tentu semuanya memakai bahasa dan cara
yang santun.
5. Selami
dunia mereka. Saat bermain dan bercanda dengan anak, bertingkah
lakulah seperti mereka. Jangan merasa sungkan dibilang kekanak-kanakan. Justru
hal ini semakin mendekatkan orang tua dengan anak. Tentu anak semakin nyaman
dengan suasana bermain saat kita larut dalam permainan tersebut.
Ini yang aku dapatkan dari
keseharian mengasuh ‘duo krucil’ di
rumah. Dua orang anak laki-laki dengan usia beranjak 3 dan 2 tahun tentu memerlukan
kesabaran yang lebih. Bolehlah kelima tips diatas kita aplikasikan dalam pola
pengasuhan anak.
Kembali ke persoalan awal mengenai
anak yang bertingkah bak raja. Perlu dipahami, hal ini bukanlah sebab. Tapi ia
adalah akibat. Dan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak sikap yang
diakibatkan oleh pola pengasuhan yang keliru. Boleh jadi mereka bertingkah
seperti raja (ngomong teriak-teriak, suka
memerintah) adalah cara mereka untuk mencari perhatian orang tuanya. Coba
kita flashback ke belakang, melihat
saat anak berada pada masa Golden Age.
Saat asyik dengan hobi kita dan anak mendekat untuk ikut terlibat, apa yang
kita lakukan? Saat sibuk memasak di dapur kemudian anak datang, respon apa yang
ditunjukkan? Tak jarang kita menghardik anak dan memintanya menjauh. Hal ini
terjadi berulang-ulang hingga tanpa sadar kita menanamkan perasaan ke diri anak
bahwa orang tuanya kurang peduli pada dirinya.
“Tidaklah seorang bayi terlahir dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R. Muslim)
Semoga kita menjadi orang tua yang tak pernah berhenti
belajar dan senantiasa memberikan teladan yang baik bagi anak-anak kita.
2 Komentar
Pak. Kalo duo krucil mainnya apa aja pak? Buat referensi sy. Hehee
BalasHapusMainnya yaa standart gaya anak-anak Mas Eka.
BalasHapusObrak-abrik rumah, lari sana-lari sini, rebutan mainan, main pasir or tanah kalo dah diajak keluar ^___^