“Menjadi tua itu pasti, tapi
menjadi dewasa itu pilihan”
Menikah dengan sesama anak bungsu
menjadikan perjalanan bahtera rumah tangga kami kian berwarna. Tipikal anak
bungsu yang cenderung lebih gede rasa
egonya, membuat sepasang anak manusia yang baru menikah ini harus lebih banyak
belajar menahan ‘keakuanku’.
Ketiadaan Ibu saat bersanding di
pelaminan memberi warna haru. Beruntung Bapak masih hidup dan turut hadir saat Walimatul ‘Ursy. Berbeda dengan istri
yang kedua orang tuanya telah meninggal. Bahkan Ibu (mertua) meninggal sebulan sebelum aku dan istri memulai proses ta’aruf.
Hal ini membuat kami harus berjibaku sendiri dalam mempersiapkan
acara Walimatul ‘Ursy. Mulai mencetak
undangan, mempersiapkan segala pernak-pernik yang diperlukan kami lakukan
sendiri. Bersyukur Allah memudahkan segala urusan. Dan lebih bersyukur lagi,
kami mampu menjaga interaksi untuk tidak sering bertatap muka.
Mungkin ini cara Allah mendidik
kami agar lebih mandiri dalam menghadapi segala persoalan dalam berumah tangga.
Dengan ketiadaan orang tua dan Bapak yang berada nun jauh di kampung halaman. Di tahun pertama pernikahan, kami
tinggal di rumah induk (rumah peninggalan orang tua istri) bersama kakak ipar. Dengan
menempati sepetak kamar di area belakang rumah, kami mulai perjalanan panjang
menyatukan dua hati yang berbeda.
April 2013 menjadi momen yang
bahagia nan mendebarkan kami berdua. Yup...
Kelahiran anak pertama menjadikan detak jantung kian bergemuruh. Dengan membonceng
istri menggunakan motor menjelang Magrib, kami pergi ke Rumah Sakit
Muhammadiyah. Alhamdulillah, keesokan hari pukul 08.30 WIB lahir putra pertama
kami. Tentu roman kebahagiaan jelas terpancar di wajah kami, terlebih istri
yang telah melewati masa-masa kritisnya.
Ada rasa haru yang menyeruak saat
pertama kali mengumandangkan azan di telinga Fathin, bayi mungil buah cinta
pertama kami. Sampai suaraku yang biasa lantang, hanya mampu bersuara lirih. Ada
satu moment yang hingga kini tidak
kami lupakan. Saat suster mengantarkan bayi ke ruangan istri beristirahat,
kebingungan melanda kami. Bayangkan, kami tak pernah sekalipun menggendong
bayi. Kami hanya saling pandang manakala bayi kami diletakkan di ranjang. Kamu tahu
apa yang kami lakukan kawan?
Saat itu aku langsung merogoh tas
dan meraih tab. Kubuka google dan kuketikkan “cara menggendong bayi” dan “posisi menyusui bayi”. Subhanallah!
Aku bersyukur lahir di era
teknologi. Era dimana segala informasi dapat diakses dengan mudah. Alhamdulillah,
dengan bantuan google membuat kami
lebih berani menggendong bayi. Terkadang kami sampai tertawa ngakak bila mengingat hal ini. Alhamdulillah
kakak datang menjenguk hingga kami tak kerepotan saat kembali ke rumah. Dalam
proses pengasuhan anak yang pertama, kami juga turut dimudahkan oleh salah satu
produsen susu dimana kami menjadi konsumennya. Booklet dan brosur yang rutin diterima sangat membantu dalam
memahami permasalahan dalam mengasuh bayi.
Terkadang keterbatasan membuat kita
mampu mengeluarkan potensi-potensi terbaik yang dimiliki. Ketiadaan orang tua,
terutama ibu mengajarkan kepada kami untuk lebih mandiri dalam menghadapi
warna-warni kehidupan rumah tangga. Tak mudah putus asa, tidak cengeng menghadapi masalah, tidak
bergantung kepada orang lain adalah hal-hal yang kami pelajari dalam
keterbatasan itu. Hal ini pun berlanjut saat kami telah memiliki dua orang
anak. Menghadapi dan merawat kedua orang anak yang selisih usia hanya terpaut
satu tahun sendiri tanpa bantuan orang tua menjadikan kami lebih strong dari sebelumnya.
Berdamai dengan keterbatasan,
membantu kita menemukan potensi terbaik dalam diri
#WonderfulJourney
#GiveAway
2 Komentar
Hihihi... yang lain nanya ke ibu atau nenek cara menggendong dan merawat bayi.. yg ini malah nanya ke mbah google.. Keren ceritanya Pak Rahmad :D
BalasHapusHihihi... yang lain nanya ke ibu atau nenek cara menggendong dan merawat bayi.. yg ini malah nanya ke mbah google.. Keren ceritanya Pak Rahmad :D
BalasHapus