Ini bukan cerita tentang kentut, bukan pula penggalan lagu yang
dinyanyikan menjelang tengah malam. Hanya sepenggal rasa sesak di dada yang
masih tertinggal. ^^
#411 Punya arti tersendiri bagiku. Disamping itu adalah terjadinya salah
satu momen yang tak terlupakan oleh
bangsa tercinta ini (cemiiwwiiiw). Adanya
aksi besar-besaran di Jakarta yang diikuti oleh ratusan ribu umat Islam dari
berbagai penjuru menuntut gubernur Jakarta ditangkap atas tuduhan penistaan
agama. Aksi serupa juga terjadi di berbagai daerah. Pada hari itu, satu momen yang begitu membekas juga turut
aku rasakan.
Jum’at siang kala itu, kami sekeluarga berniat pulang kampung. Memenuhi
undangan abang yang punya hajatan khitan anaknya. Berencana naik kereta api,
tiket pun telah aku beli sehari sebelumnya. Dengan jadwal keberangkatan pukul
13.27, idealnya pukul 12.30 kami harus berangkat menuju stasiun. Yang terjadi,
justru pukul 13.10 kami baru berangkat dari rumah. Oooh...em...je..., perasaanku langsung acak kadut. Pulang dari shalat Jum’at, kulihat istri belum juga ready. Lupa..... ada keringanan untuk
tidak menunaikan shalat Jum’at ketika dalam kondisi dalam perjalanan (safar).
Seperti dugaanku, sampai di stasiun pukul 13.30. Dan..... si gagah Siantar Express telah pergi meninggalkan
Stasiun Besar Kereta Api Medan. Padahal masih ada asa, saat tiba melihat kereta api yang belum berangkat. Dengan tergopoh-gopoh
menuju mesin check in tiket, ketika
monitor menampilkan kalimat ‘maaf, kereta
api telah berangkat’ hatiku pun langsung lemes. Si sulung Fathin pun langsung merengek, ingin segera naik
kereta api. Jurus bersilat lidah mau
tak mau kudu dikeluarkan. Hingga sukses
membujuknya untuk naik bus.
Perjalanan selama 3 jam kami lalui dengan memangku anak. Perjuangan untuk
tetap sabar masih terus berlanjut. Sampai di Simpang Dolok Merangir, kami harus
menunggu mobil jemputan. Tiba pukul 17.30, kami sukses duduk berjam-jam di
teras Masjid menunggu jemputan yang baru datang saat pukul 20.00.
Dan.... gagal kembali menyapa. Niat kembali ke Medan naik kereta api
kembali pupus. Beruntung dapat transportasi yang nyaman, hingga duo krucil masih bisa happy sepanjang perjalanan pulang,
melupakan keinginan yang kuat untuk bisa naik kereta api. (maaf ya nak, naik kereta api untuk pertama kalinya bareng kalian gagal)
T___T
Masih ada sebenarnya rentetan peristiwa yang tak mengenakkan. Tak cukup rasanya
jika harus ditumpahkan disini (halaahh.....mulai
kumat nih ^^). Ternyata apapun perisitiwa yang kita alami, jika dipandang
dari sisi positif maka akan banyak sekali hikmah yang dapat diambil. Sisi ini
pula yang mendorong kita untuk menikmati ‘ketidaknyamanan’ yang dirasakan. Bisa
kubayangkan, jika diperturutkan rasa kesal yang memuncak bisa jadi akan terjadi
hal-hal yang tidak mengenakkan. Dan itu sempat aku rasakan, ketika dengan ketus
kujawab pertanyaan istri naik apa jadinya saat ketinggalan kereta api. Alhamdulillah, rasa kesal yang memuncak
tak berlarut-larut. Seperti biasa, jurus 6
– 2 – 6** kembali kugunakan.
Yang berat itu justru mengalihkan perhatian Fathin yang begitu ingin naik
kereta api. Dengan teknik asosiasi sederhana, aku berhasil membujuknya. Bahkan ia
tampak ceria sepanjang perjalanan. Mulutnya tak berhenti untuk mengoceh. Lalu gimana teknik asosiasi itu? Hal ini sering juga kulakukan tiap kali
Fathin merengek atau cemberut. Biasanya kuajak ia bercerita dan memasukkan
pesan yang ingin disampaikan terkait keinginannya yang tidak terkabul. Pesan sederhana
yang intinya karena sesuatu hal keinginannya belum terwujud dan menggantinya
dengan alternatif pilihan yang lain sembari tetap berjanji untuk memenuhi
keinginannya semula.
Semisal keinginannya naik kereta api ke kampung halaman. Jauh-jauh hari
berulang kali ia mengungkapkan keinginannya yang begitu besar untuk naik kereta
api. Dan itu diulang-ulang setiap kami
duduk bersama di ruang keluarga. Saat tiba di hari H dan ternyata keinginannya
tak terwujud, kekecewaan jelas tergambar dari wajahnya. Disinilah peran orang
tuanya menjelaskan serta membujuknya. Biasanya kami ungkapkan alasannya
sesederhana mungkin. Dan sebisa mungkin sesuai dengan fakta yang ada, bukan
direkayasa.
Sedari awal, ada sugesti terselubung. Dengan mengulang-ulang kata ‘Pakde’
tiap kali ngomongin kereta api. Jadi dapat
clicknya, tujuan pergi ya ke rumah
Pakdenya. Jadi apapun itu ya harus sampai ke rumah Pakdenya. Saat ditawari
harus naik bus agar bisa sampai ke rumah Pakde, tuh bocah ya manut aja. ^^
Kalau si bungsu mah, relatif
mudah membujuknya. Tak perlu usaha ekstra. Dengan karakter yang lebih kalem,
membuat Syahmi hampir selalu nurut
dengan apa yang ditawarkan padanya.
Yuk ahh, mulai sekarang ajak ngomong anak-anak kita layaknya teman. Dengan
mengajaknya berbicara, kita akan tahu lebih detail apa yang menjadi
keinginannya. Ini juga membiasakannya untuk berdiskusi tentang apapun yang
dihadapinya. Baik itu keinginannya, permasalahannya, hingga
pendapat-pendapatnya.
Ternyata, berpikir positif itu laksana setitik sinar dalam kegelapan yang
menuntun kita untuk menghalau kegelapan itu. Semoga hari-hari yang kita lalui
tidak rusak oleh ketidaknyamanan yang sering menghampiri......
Note ; **6 – 2 – 6 (Menarik napas dalam hitungan 6 kemudian menahannya
dalam 2 hitungan dan melepaskannya kembali dalam hitungan 6)
0 Komentar