“Dicari fasilitator
pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi”.
Iklan di salah satu surat kabar membuat guide di Taman Nasional Ujung Kulon bertubuh
kecil bersuara halus pemilik dua gelar sarjana (Sastra Indonesia dan
Antropologi) dari Universitas Padjajaran terusik. Kejenuhan akan rutinitas yang
dijalani mendorongnya memenuhi panggilan iklan tersebut.
Dara kelahiran Jakarta
21 Pebruari 1972 ini akhirnya membulatkan tekad menjadi guru bagi Suku
Anak Dalam di pedalaman Jambi. Jangan membayangkan guru dengan balutan busana
rapi nan wangi, mengajar di ruangan dan anak-anak berjejer rapi dalam deretan
meja dan kursi. Ruangan kelasnya adalah alam bebas di bawah rimbunnya hutan Taman
Nasional Bukit Dua belas (TNBD). Mengenakan baju sehari-hari atau terkadang
menyesuaikan dengan busana setempat. Apalagi muridnya adalah anak-anak Orang
Rimba, sebutan bagi Suku Anak Dalam yang berbusana ala kadarnya dan tak pandai baca maupun tulis. Keadaan ini sering
dimanfaatkan oleh ‘orang terang’ (sebutan terhadap seseorang di luar komunitas
mereka).
‘Orang terang’ sering menipu mereka. Tanah yang dimiliki
kerap dirampas melalui selembar surat perjanjian yang dikatakan sebuah
penghargaan dari kecamatan. Padahal itu adalah surat jual beli tanah. Karena buta
huruf mereka mau saja ketika diminta membubuhkan cap jempol dan diberi uang
dalam jumlah sedikit.
Sangat jarang sekali ditemui seseorang yang terbiasa
hidup dalam suasana kota dengan berbagai akses kemudahan yang diperoleh rela menceburkan diri di tengah hutan rimba
menjadi seorang pengajar. Tapi ternyata manusia langka ini masih ada di tengah modernitas yang melanda kaum muda. Yup.... perempuan luar biasa itu bernama
Saur
Marlinang Manurung, yang
lebih dikenal dengan nama Butet Manurung.
Bukan perkara mudah mengajar Orang Rimba. Penolakan adalah
rintangan pertama yang harus dihadapi. Masyarakat Rimba beranggapan bahwa
pendidikan adalah budaya luar dan bukan budaya Orang Rimba. Namun Butet yang
selalu optimis dan pantang menyerah ini berhasil meyakinkan Masyarakat Rimba
bahwa pendidikan dapat melindungi mereka dari penindasan dunia luar. Pada tujuh
bulan pertama Butet tidak langsung mengajar. Ia terlebih dahulu meriset berbagai kehidupan Orang Rimba
mulai dari pola pengasuhan anak, hubungan orangtua dengan anak, hubungan antar
anak sembari berbaur dengan mereka.
Melalui Sokola Rimba (sekolah rimba) yang dibangun,
Butet mulai mengajarkan baca-tulis kepada Orang Rimba. Oh ya, Sokola Rimba bukanlah
bangunan permanen. Ia hanya berbentuk dangau kecil tak berdinding yang bersifat
nomaden. Jadi jika tidak dibutuhkan lagi bisa segera ditinggalkan. Jika ditanya
alamat Sokola Rimba, dengan mudah Butet akan menjawab “Pada koordinat 01’ 05’LS – 102’ 30’ BT”.
Ada yang unik dalam pola pengajaran yang dilakukan Butet
Manurung. Ia mengenal huruf berdasarkan bentuk dan cara mengejanya. Misal, A seperti atap, C seperti
pegangan periuk, M diucapkan dengan mulut dikatupkan. Kemudian huruf dirangkai
dalam 14 kelompok berpasangan. Berkat metodenya ini, Butet dianugerahi “The
Man and Biosphere Award” -dari LIPI-UNESCO di tahun 2001.
Selain pendidikan dasar, baca, tulis dan hitung, Butet
juga menerapkan pola pendidikan advance.
Yaitu pengetahuan tentang dunia luar, life
skill, dan pengenalan organisasi. Sehingga bisa menjadi mediator ketika
Orang Rimba bersinggungan dengan dunia luar dan tidak mudah dieksploitasi.
Selama delapan tahun, wanita perkasa ini menggerakan
Sokola-Kelompok Pendidikan Alternatif yang kini telah menyebar di banyak daerah
(Aceh, Makasar, Bulukumba, Flores, Pulau Besar dan Gunung Egon, Halmahera,
Klaten, Bantul). Dedikasinya yang tinggi akan kemajuan pendidikan Suku Anak
Dalam membuat Butet dianugerahi beragam penghargaan.
- Menempari peringkat 11 dari 99 perempuan paling
berpengaruh di Indonesia versi Majalah Globe Asia edisi Oktober 2007.
- Woman of The Year di bidang pendidikan oleh Anteve di
tahun 2001.
- Heroes of Asia Award 2004 oleh majalah Time
Dan seabreg penghargaan
lainnya.....
Tapi menurut perempuan Batak yang selalu merasa nyaman
di hutan ini, hal yang paling membahagiakan dan membuatnya terharu adalah saat
semuanya memanggil ‘Bu Guru’.
Perjuangan dan dedikasi Butet Manurung yang luar biasa
ini, seolah memberi pesan penting kepada dunia pendidikan Indonesia ditengah keragaman yang dimiliki, justru pola pendidikannya adalah pendidikan yang menyeragamkan. Padahal penyeragaman ini akan
melemahkan keragaman kapasitas setempat.
***
“Laa.... katanya Bhineka Tunggal Ika, kok pendidikannya di pedalaman pun seragam?”. Begitulah kegalauan Bu Guru yang enerjik ini.
***
“Laa.... katanya Bhineka Tunggal Ika, kok pendidikannya di pedalaman pun seragam?”. Begitulah kegalauan Bu Guru yang enerjik ini.
Ketika
ditanya rekomendasinya terhadap sistem pendidikan Indonesia, Butet menjawab :
“Kalau misalnya saya diberi kesempatan untuk mengubah pendidikan,
saya akan menguatkan sistem pendidikan
kontekstual. Juga saya akan melibatkan orang setempat untuk mengajar.
Misalnya kalau ada orang setempat yang ilmunya tumbuhan obat, dia harus
mengajarkan tentang itu, ilmunya berburu ya mengajarkan berburu. Orang-orang
setempat bisa menguatkan kapasitas setempatnya dan yang dari luar mengajarkan
hal-hal yang perlu saja seperti baca, tulis, hitung, dan beberapa tambahan yang
relevan.
Banyak
pengetahuan yang tidak relevan yang tidak
bersumber dari masalah setempat dan kekuatan yang ada di setempat. Misalnya
setiap hari kena malaria, dan dikejar-kejar pembalakan liar, terus misalnya di
sekolah malah belajar planet Saturnus. Kenapa tidak ada kurikulum yang terkait
dengan persoalan setempat di sekolah pedalaman. Misalnya orang puskesmas datang
mengajarkan tentang malaria atau ahli hukum untuk mengajarkan mengatasi
pembalakan liar. Juga tidak ada pelajaran mengendalikan hama bagi petani. Yang
ada juga orang jualan pupuk (tertawa). Orang sekarang kalau lulus SMA (Sekolah
Menengah Atas), inginnya kerja kantoran. Tidak ada yang ingin jadi petani atau
berkebun misalnya. Padahal yang penting menjaga kekuatan dan kekayaan setempat”.***
***mengenal Butet Manurung
Begitulah, setiap putaran waktu selalu menyuguhkan
permasalahan yang berbeda. Pun.... selalu ada sosok yang tampil untuk
memberikan pencerahan akan permasalahan tersebut. Sosok yang dedikasi dan
perjuangannya senantiasa menginspirasi banyak orang hingga tergerak untuk mengikutinya. Sosok yang
tak memperlukan panggung pengakuan atas segala jerih payahnya. Sosok yang tak
melemah disaat usahanya dipandang sebelah mata. Mereka inilah sosok pahlawan
yang senantiasa dirindu dan ditiru.
0 Komentar