Sosok itu berjalan dengan tegap. Menyongsong hari dengan
selaksa cinta sebagai bekal mencerdaskan anak bangsa. Peluh yang membasahi
wajah, segera diseka dengan sapu tangan beraroma kasturi yang senantiasa setia
menghias kantong celana. Aroma nan semerbak pun tak luput menjelajah udara saat
Ia berlalu. Senyum yang indah itu seolah enggan meninggalkan wajah teduh nan
bersahaja, walau setiap hari berpacu dengan waktu. Berusaha sekuat tenaga
sampai di tempat Ia mengabdi tepat waktu, seolah ingin menegaskan kepada Sang
Mentari bahwa kompetisi ‘siapa cepat’ takkan pernah berakhir. Siapa mereka?
Yang kadar cintanya senantiasa terbaharui. Siapa mereka? Yang kesabarannya
seolah tiada bertepi. Siapa mereka? Yang tetap abadi dalam lautan memori. Siapa
mereka? Yang namanya terpatri dengan indah di sanubari setiap insan manusia.
Mereka adalah sosok yang tak membutuhkan bintang tanda jasa
untuk mengenang pengabdiannya. Tetap bekerja walau dihina, tetap bersinar dalam
gelap yang berpendar. Guru..... Begitu kita memanggilnya. Ada kerinduan yang
membuncah tiap kata itu singgah di telinga. Coba sejenak berbalik badan,
membuka kembali buku kenangan lembar demi lembar. Maka kita akan menemukan nama
mereka mengisi begitu banyak lembar buku kenangan yang pernah kita tulis. Keberadaannya
mengisi kekosongan dalam sanubari. Pantas kiranya jika Ia kita ibaratkan bagai
orang tua kedua.
Kesabarannya menuntun tangan kita saat menggores kertas
dengan pena. Hingga kita terlatih merangkai kata demi kata. Belaiannya membuat kita pandai mengeja
rangkaian huruf hingga lancar membaca. Kejeliannya mendorong kita semakin cepat
dalam berhitung. Bahkan tak jarang kita lebih mempercayai ucapannya dibanding
orang tua. Ingatkah kita saat kecil ngeyel
ketika dibimbing ibu atau ayah saat belajar dengan mengatakan; “Itu salah, bukan begitu yang diajarkan ibu
guru”. Itu yang sering kita ucapkan, padahal hanya cara yang diajarkan saja
sedikit berbeda.
Kini mereka telah menjelma menjadi sosok kekinian, yang bertransformasi menjadi manusia modern seiring
dengan berjalannya waktu. Kayuhan sepeda ontel kini berganti dengan deruman
sepeda motor yang siap mengantarkan kepada saja. Busana kumal, kusut dan berbau
kecut berubah dalam balutan busana rapi nan wangi. Pena yang terselip di ujung
kantong yang senantiasa meninggalkan noda tinta kini diganti dengan benda persegi
bernama smartphone. Bentakan dan
pandangan matanya yang tajam lebur menjadi ucapan pelan dan lirikan penuh
makna. Tetapi.....
Tahukah kita, di tengah modernisasi yang mereka alami,
sejatinya ada rintihan pedih disana. Ada kegalauan yang melanda. Ada
kebimbangan yang mendera. Mereka tak lagi bisa mengaum dengan leluasa, laksana
singa di hutan belantara. Tapi kini ia serasa singa yang menghabiskan waktu
dalam kurungan.
Dituntut untuk mengajar dengan hati, dengan harapan terlahir
insan yang berbudi. Tetapi keleluasaannya untuk membentuk karakter anak didik
terbentur dengan seabreg aturan yang
membingungkan. Tahukah kawan, sepotong roti yang gurih harus menikmati
serangkaian proses yang panjang. Ada pencampuran, pengadukan, pencetakan hingga
pembakaran. Dan semua itu dilalui dengan campur tangan sebuah ‘sentuhan’
tangan.
Dan.... proses yang jauh lebih rumit yaitu proses pembentukan
karakter manusia diharuskan dilakukan tanpa ‘sentuhan’ tangan? Imposible brother!!
Betapa kini kita terlalu sering mendengar berita yang
menyesakkan hati. Guru yang notabene
pilar penting dalam sebuah negara, karena peran penting mereka mempersiapkan
generasi tangguh harus berhadapan dengan penegak hukum karena masalah yang
terlalu biasa dalam dunia pendidikan. Cubitan, bahkan teguran harus berakhir di
meja pengadilan. Bapak Sambudi di Sidoarjo, Bapak Dasrul di Makasar dan Ibu
Nurmayani di Sulawesi, hanya segelintir nama yang harus rela berurusan dengan
pihak berwajib.
Tidakkah kita ingat sewaktu kecil dulu, saat guru menegur,
mencubit bahkan melibas dengan penggaris kayu atau melempar penghapus yang
terbuat dari kayu, tak pernah sekalipun kita mendengar mereka kemudian diciduk
yang berwajib untuk kemudian diadili. Bahkan saat kita mengadu kepada orang
tua, mereka justru akan membela apa yang dilakukan guru.
Saya tak bermaksud mendukung kekerasan dalam pendidikan,
bukan pula berkeinginan menentang peraturan yang kini menjelma menjadi
undang-undang perlindungan anak. Bukan itu kawan.....
Ada hal penting yang hilang dalam dunia pendidikan kita. Trust...
Hilangnya rasa percaya pada mereka yang diberi amanah
mendidik anak-anak kita. Tak heran, jika permasalahan yang timbul berakar dari
kesalahpahaman. Dan kesalahpahaman ada karena kurangnya kepercayaan.
Belum lagi urusan administrasi yang tak kunjung tuntas,
datang silih berganti untuk dikerjakan. Pelengkapan berkas demi impian meraih
sertifikasi, update data berkala yang
harus dilakukan, mengawal proses ujian hingga pengisian raport, dan rutinitas
administrasi lain yang justru menyita waktu mengajar. Itu semua, lebih banyak dilakukan
connect by internet. Padahal, tak
semua guru paham dengan teknologi yang terus berjalan dan memaksa [suka tidak suka] setiap orang harus
mengikutinya. Lihatlah para guru yang keberadaannnya nun jauh disana, pedalaman
Indonesia. Jangankan memahami internet, mereka justru harus [dan masih] berjuangan menaklukkan medan
yang tak bersahabat. Menyebarangi sungai, hutan, hingga berlumpur ria kerap
mereka jalani. Belum lagi sarana komunikasi yang kerap menjadi tembok
penghalang ke dunia luar. jangan signal telepon, ketiadaan penerangan menjadi
teman akrab mereka. Sayangnya, pemangku kebijakan yang bergelimang fasilitas di
pusat pemerintahan tak melihat dan mempertimbangkan kondisi mereka. Setiap kebijakan
baru terkesan senantiasa dipaksakan.
Tetapi, lihatlah.....
Segala problematika dalam dunia pendidikan mereka sambut
dengan senyuman. Langkah tetap terayun demi bakti cerdaskan negeri. Lisan tetap
berucap memberi ilmu, demi harapan mencetak generasi bermutu. Semangat tetap
membara demi munculnya insan beretika. Karena mereka adalah pelita, baik kini
maupun nanti.
Semoga
keberkahan senantiasa menaungi setiap langkah kalian, guru Indonesia...!!
0 Komentar