Tahukah kawan apa batas dari sebuah kesombongan? Yup.... ketika kita merasa cukup dengan
ilmu yang dimiliki. Berbeda dengan merasa cukup atas rezeki yang telah Allah
berikan, yang mendatangkan rasa syukur dan mendatangkan rasa tentram dalam
diri. Inilah yang disebut dengan qanaah.
Berbeda dengan merasa cukup atas ilmu yang ada pada diri, bukan mendatangkan
ketentraman melainkan menutup hati dari kebenaran. Musibah besar yang terkadang
kita lalai memperhatikannya. Jika telah merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki
maka kecenderungan untuk menolak kebenaran akan besar.
Guru sejati adalah yang senantiasa mengupgrde keilmuan yang ada pada dirinya. Bukan yang berbagga dengan keilmuan yang ada hingga akhirnya enggan terus belajar. Karena banyak hal yang bisa menjadi sumber pembelajaran bagi peningkatan kualitas diri. Bahkan dari murid pun bisa belajar (baca disini). Alhamdulillah, selama dua hari (19-20 Desember) menjadi
bagian dari aktifitas guru-guru di Yayasan Pendidikan Nurul Hasanah yang terus
mengupdate diri dalam “Pelatihan Berbasis
Kebutuhan & Pemantapan Kemampuan mengajar Guru.” Walau dapat tugas jadi
orang dapur, yang sibuk nyiapin
segala keperluan pelatihan. Di hari kedua baru bisa ikut di seksi kepramukaan. ^^
Apa jadinya jika setiap guru yang terbagi kedalam beberapa
kelompok melakukan kegiatan micro teaching
bergantian bermain peran menjadi guru dan murid? Atau berlatih ilmu kepramukaan
dengan memposisikan sebagai seorang murid. Hehehe....
yang jelas kehebohan tercipta dengan sukses. Ada kelucuan tersendiri saat
melihat teman-teman yang mengajar di sd bertingkah layaknya anak-anak. Atau saat
bergabung dengan rekan guru yang mengajar di smp dan sma berlatih upacara
pembukaan pramuka yang benar, penuh canda dan tawa. Padahal keseriusan sangat
dituntut, mengingat yang menjadi instruktur adalah pelatih nasional pramuka [jangan dicontoh yaak, cuma untuk buat rileks
aja kok. Aslinya yaa emang kocak-kocak orangnya. Heuheu...]
Begitulah, selalu ada sisi kekanak-kanakan dalam diri setiap
manusia. Sisi yang justru membuat dunia yang kita lihat penuh warna. Jangan merasa
malu atau gengsi, tapi pupuk dan binalah dengan benar. Karena ia menjadi
senjata pamungkas saat kita menjadi orang tua. Itu akan memudahkan kita menyelami
dunia anak. Gak lucu kan ya, jika suatu ketika membacakan
dongeng kancil atau kisah anak sholeh dengan mimik wajah dingin tanpa ekspresi,
suara datar dan hanya sebentar. Tersampaikankah cerita tersebut kepada anak
kita? Jawabnya tersampaikan kok...
[iyaa...tersampaikan betapa tak bersahabatnya kita]. Saat berhadapan dengan
anak-anak, bertingkah lakulah layaknya anak-anak. Begitu pula jika
berkomunikasi dengan mereka yang telah dewasa, berlaku seperti orang dewasa. Jangan
terbalik, bisa runyam nanti
urusannya.
Dari pelatihan yang tentu menguras energi, sebenarnya ada
banyak hal yang dipelajari. Satu hal yang mencuri perhatian saya tentunya sikap
rekan-rekan guru lainnya. Begitu menikmati saat melihat mereka begitu luwes
berperan menjadi murid dan kembali bersahaja saat menyampaikan materi sebagai
guru. Karena sejatinya para guru sedang memainkan peran sebagai kunci inggris. Diantara peralatan montir
yang ada, kunci inggris adalah peralatan yang paling fleksibel. Bisa mengencangkan,
mengendurkan baut berbagai ukuran dengan mudah. Mengajar dengan pola sekolah
satu atap [dari tingkat Tk – Sma berada dalam naungan satu yayasan) tentu lebih
menguras energi. Pagi mengajar di kelas Sd, siang harus masuk ke kelas Smp. Ada
managemen emosi yang mesti dijalankan dengan cermat. Menghadapi anak-anak tentu
berbeda saat berhadapan dengan remaja yang beranjak dewasa. Jika tidak, tentu
timbul masalah baru dalam proses belajar mengajar.
Karena
sifat ilmu yang luasnya membentang tak bertepi, maka sikap terbuka akan
membantu kita mereguk nikmatnya ilmu. Membantu kita untuk menemukan
telaga-telaga keilmuan yang baru, hingga bank ilmu pengetahuan dalam diri
senantiasa bertambah. Dan pada akhirnya, membawa kita pada ketundukan dan
ketaatan pada-Nya. Semoga ilmu yang dipelajari mendatangkan keberkahan.....
0 Komentar