Mengeja dunia hingga kemudian menaklukannya adalah bagian
dari tahapan dalam menggapai impian yang tertanam dan mengakar di setiap diri
kita. Sebegitu pentingkah sebuah impian dalam hidup? Impian adalah manifestasi
dari keinginan kuat dalam diri. Ia bagai navigasi yang menuntun pada pencapaian
impian. Bahan bakar ketika semangat melemah dan menguap. Jangan takut untuk
bermimpi, karena itu menggambarkan apa, siapa dan bagaimana kita. Mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok,
begitu Imam Syahid Hasan Al-Bana menggambarkan impian. Lagi pula mimpi itu
gratis kawan, tidak ada kutipan sepeser pun untuk membayarnya.
Impian tak ujug-ujug
datang dengan sendirinya. Karena ia adalah keinginan yang datang dari dalam
diri. Butuh usaha untuk memiliki impian (laaa...
punya mimpi aja kudu usaha dulu ya ^^). Salah satu upaya dalam menumbuhkan
impian adalah dengan membaca. Budaya mulia yang kini seolah lenyap dari
generasi masa kini. Padahal membaca adalah gerbang untuk menyingkap lautan ilmu
yang luasnya membentang tak terhingga. Dengan membaca selalu ada hal baru yang
dipelajari. Seolah cadangan pengetahuan kita senantiasa terbarukan. Dan....itu
terasah dengan banyaknya buku yang kita baca. Bukankah wahyu pertama yang
diterima Baginda Rasulullah adalah membaca [iqra’]?
Alangkah baiknya jika budaya membaca pada generasi sekarang kembali ditumbuhkan
yang dimulai dari keluarga-keluarga kecil kita.
Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, ada satu momen
yang tak terlupakan hingga kini. Setiap Minggu malam rumah lebih senyap dari
biasanya. Masing-masing kami asik dengan kesibukan masing-masing. Bapak larut
dalam primbon atau surat kabar, Ibu
tekun membaca majalah kesayangannya [Kartini yang selalu setia]. Terkadang juga
terlihat terbata-bata membaca buku tentang merajut berbahasa Belanda. Serius....!
Ibu itu sosok inspirasi tiada bertepi. Walau Cuma tamatan SR (Sekolah Rakyat),
tapi bacaannya buku berbahasa Belanda. Hihihi....
bagi aku mah ini sesuatu yang amazing. Luar biasa lae !! Sedang kami terdiam di kamar dengan buku pelajaran
masing-masing. Jika datang ke rumah kami, jangan heran jika melihat tas
bertumpuk-tumpuk. Bukan berisi pakaian, melainkan buku. Teman-teman pun sering
menyempatkan datang hanya untuk membaca. Maklum, diantara mereka koleksi buku
di rumah terbilang lengkap. Kala itu majalah Bobo dan Donal Bebek menjadi
bacaan favorit. Bertumpuk hingga memenuhi dua tas besar. Bahkan rubrik oh mama oh papa yang sering membahas
permasalahan rumah tangga berdasarkan kisah nyata di majalah Kartini sering
juga aku lahap (jangan ditiru yaa,
anak-anak mah belum saatnya ngebaca itu. Hehehe...)
Kini, kebiasaan membaca perlahan mulai aku tularkan kepada duo krucil di rumah. Walau masih berusia
3 dan 2 tahun dan belum bisa membaca, setidaknya mereka tahu kalau buku itu
untuk dibaca. Tahu buku harus dijaga dan dirawat, tahu mengingatkan orang
tuanya untuk membaca. Berharap kelak mereka tumbuh menjadi pribadi tangguh
dengan segudang impian dalam dirinya.
Semoga kemajuan yang dialami Jepang memompa semangat kita
untuk meluangkan waktu membaca. Sudah menjadi rahasia umum, Jepang mampu
bertransformasi menjadi negara maju berkat kebiasaan mereka yang telah dibangun
semenjak lama. Membudayakan gerakan gemar membaca sejak kecil. Terkait hal ini,
ada beberapa kebiasaan mereka yang patut kita tiru dan diaplikasikan dalam
keseharian kita.
1. Membaca di Setiap Tempat
Membaca di transportasi umum, di taman, hingga ketika
mengantri bukanlah pemandangan aneh di Jepang. Bahkan hanya sekedar untuk
membaca komik. Justru sibuk dengan ponsel menjadi barang langka yang sangat
jarang ditemui. Berbanding terbalik tentunya dengan kondisi kita
2. Tachiyomi
Eh, ini bukan mainan loh ya. Kalau tamagochi mah emang
iya. Tachiyomi merupakan kegiatan membaca gratis yang dilakukan sambil
berdiri di toko buku. Hal ini biasa dilakukan oleh banyak toko buku di Jepang. Beberapa
buku sengaja dibuka plastik pembungkusnya agar bisa dibaca oleh pembeli. Berbeda
sekali ya dengan kita di Indonesia, yang sengaja menyobek plastik pembungkus
buku kemudian membacanya diam-diam di pojok. Uniknya para penjual tidak merasa
dirugikan dengan adanya tachiyomi. Justru mereka beranggapan semakin ramai
tachiyomi di tokonya maka semakin banyak yang datang dan kemungkinan untuk
membeli juga semakin besar.
3. Banyak Toko Buku
Tahukah kamu jika toko buku yang ada di Jepang sama dengan
toko buku yang ada di Amerika Serikat? Padahal jumlah penduduk Amerika Serikat
dua kali lebih banyak penduduk Jepang dan luas Amerika Serikat dua puluh enam kali
lebih luas dari Jepang. Ini tentu menggambarkan daya beli orang Jepang terhadap
buku begitu tinggi. Lalu bagaimana dengan kita? Event obral buku yang dilakukan
oleh sebuah penerbit besar belakangan ini menggambarkan daya beli kita terhadap
buku. Tentu menyampaikan pesan pula bagaimana budaya membaca kita. Hiks.....
4. Seciguchi
Ini adalah tele
shopping, tetapi yang dijuala adalah buku. Acara ini tentu sangat membantu
bagi mereka yang tak punya waktu luang untuk pergi ke toko buku. Pemirsa di
rumah dapat melihat referensi buku yang ada dan memesannya melalui internet
atau telepon jika tertarik untuk membeli.
5. 10 Menit Membaca di Sekolah
Harian nasional bernama Yoshiko Shimbun menyampaikan bahwa
kebiasaan membaca di Jepang dimulai dari bangku sekolah. Kegiatan yang telah
berlangsung selama 30 tahun ini mewajibkan siswanya untuk membaca buku 10 menit
sebelum pelajaran dimulai. Hal ini tentu dinilai sangat efektif, mengingat pola
pembiasaan mudah dilakukan pada anak-anak yang masih berusia belia.
Alhamdulillah, kebiasaan ini mulai diterapkan dalam dunia
pendidikan kita. Melalui gerakan membaca, beberapa kabupaten/kota yang ada di
Indonesia mewajibkan siswanya membaca buku selama 10 menit sebelum memulai
pelajaran. Kegiatan yang disebut dengan literasi. Terkadang diselingi dengan
guru yang membacakan cerita dengan gaya atraktif.
Dengan mulai membiasakan membaca buku sejak dini, bukan hanya
membuka cakrawala pengetahuan lebih luas lagi. Tetapi yang lebih penting adalah
pembentukan karakter untuk menghargai ilmu pengetahuan. Sehingga diharapkan
akan memunculkan generasi yang memahami adab dalam menuntut ilmu.
“Al adabu fauqol ilmi”
Adab
itu diatas ilmu. Yakinlah, jika hal ini berhasil dilaksanakan maka kita tidak
akan lagi mendengar guru yang dianiaya oleh murid atau guru dilaporkan ke pihak
berwajib oleh orang tua siswa. Maka suasana belajar layaknya yang dialami oleh
generasi 80 dan 90 akan kembali tersaji. Mengeja dunia maka akan menaklukkan
dunia.
0 Komentar