Kemilau Hati


"Mencintai Sewajarnya, Membenci Sekedarnya"

Agenda wajib yang sering kami lakukan di akhir pekan adalah ‘memenuhi undangan’. Entah itu undangan walimahan, khitanan, atau aqiqah. Tak setiap minggu, tetapi dalam sebulan setidaknya 2 sampai 3 undangan nyasar [atau sengaja disasarkan] ke tangan kami. Seperti halnya hari Minggu kemarin.

Pergi ketika matahari perlahan mulai kembali ke peraduannya. Karena jarak tempat acara lumayan jauh dari rumah, ketika dalam perjalanan pulang kami harus singgah ke Masjid untuk menunaikan shalat Magrib. Tak ada istimewa sebenarnya. Hanya duo krucil yang tumben anteng menikmati kolam ikan yang ada disamping Masjid.

Sampai ketika sedang mengenakan sepatu, terlihat olehku tiga orang wanita muda dengan  pakaian modis nan ketat ala anak gaul melintas di depanku memasuki honda freen yang terpakir tak jauh dari motor yang kami kendarai. Belum juga mereka hilang dari pandangan, istri menghampiri dan berbisik, “Liat mas, pakaiannya sih ketat. Tapi mereka tadi ikut shalat juga tuh.” Surprise? Jelas kawan.....!!

Melihat penampilannya, tentu kita menilai mereka salah ‘tempat’. Tapi begitulah, Allah ternyata lebih memilih mereka untuk menjadikannya tamu di rumah-Nya yang mulia saat Magrib menyapa. Dibanding kumpulan wanita dengan pakaian jauh layak dari mereka bertiga yang nongkrong berpasangan di pinggir jalan.

Saya tak ingin membully penampilan mereka yang seksi, tetapi justru mengapresiasi melihatnya masih menyempatkan diri singgah di Masjid untuk kemudian ikut serta shalat berjamaah. Hanya berdoa semoga mereka segera terketuk hatinya untuk lebih menyempurnakan cara berpakaian mereka. Mudah-mudahan di lain waktu Allah beri kesempatan bertemu mereka dengan pakaian yang lebih rapi dan menutup aurat tentunya.



Begitulah....
Terkadang kita sering tertipu oleh penampilan seseorang. Ketika melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan norma-norma yang seharusnya, kita dengan cepat memberi penilaian. Begitu instannya proses labeling yang terjadi tanpa lost connection. Padahal seringkali rupa, status, dan penampilan menyembunyikan hal yang tidak ketahui. Ia bisa berupa permata nan kemilau atau justru gugusan awan hitam nan pekat.

Lihatlah Bilal bin Rabbah, seorang budak yang tidak memiliki harga. Diperlakukan semena-mena layaknya hewan. Tetapi Allah muliakan dirinya ketika Islam hadir. Bahkan Rasulullah SAW mengumpamakan dirinya dan Bilal dengan jari telunjuk dan jari tengah yang dirapatkan. Selalu menyertai Rasulullah dimanapun berada, dimana ada Rasulullah pasti ada Bilal. Lihatlah perjuangannya mempertahankan keyakinan akan Islam. Meski di jemur tanpa pakaian diatas padang pasir yang sangat terik, dengan sebongkah batu besar ditimpakan diatas tubuhnya, dipukuli, diseret kuda, tetapi tetap teguh berkata “Ahad.... Ahad....” ketika dipaksa sang majikan untuk meninggalkan keyakinan barunya. Sanggupkah kita jika mengalami apa yang dialami Bilal?

Ketika melakukan perjalanan Isra’ dengan ditemani Jibril, beliau mencium aroma aroma yang wangi. Ketika ditanyakan kepada Jibril wangi apa gerangan, dijawab “ini  adalah aroma Masythah. Penyisir rambut keluarga Fir’aun beserta anak-anaknya.” Masya Allah....
Apa gerangan sehingga Masythah yang ‘hanya’ tukang sisir mendapat kemuliaan yang begitu luar biasa? Karena beliau begitu teguh memegang keyakinannya walau harus rela dimasak tubuhnya hingga meleleh. Sanggupkah kita?
Note : kisah Masythah tergolong dalam hadits dha’if, sebagaimana dilemahkan oleh Syaikh al-albani dalam kitabnya ; Al-Isra’ wal Mi’raj, hal.80, Dha’if Jami’ Shaghir.

Membenci sekedarnya, mencintai sewajarnya. Begitulah salah satu kaidah hidup yang kudu kita lakukan. Sehingga ketika menilai sesuatu disandarkan pada batas kewajaran. Bukankah suatu kenyamanan yang luar biasa jika hati senantiasa diberi suplemen baik sangka. Karena penilaian kita sejatinya menggambarkan kualitas diri kita.

Posting Komentar

0 Komentar