"Merekam Jejak Melalui Untaian Kata"
Mengapa harus menulis? Pertanyaan klise tiap kali seseorang menanyakan padaku aktifitas sehari-hari. Ntah kekuatan dari mana, muncul rasa
percaya diri menyebutkan salah satu aktifitas yang kini rutin dilakukan adalah
menulis. Disamping rutinitas mengajar di sekolah dasar dan menjadi kurir barang
di BagshoesQ
(toko yang menjual tas, sandal dan sepatu milik kami sendiri). Dan sudah dapat ditebak
pertanyaan berikutnya adalah, sudah berapa buku yang ditulis.
Pertanyaan yang kini menjadi bahan bakar semangat untuk terus melanjutkan naskah buku yang tak kunjung usai. Parameter menjadi penulis salah satunya adalah berhasil menerbitkan buku. Walaupun di era digital saat ini, banyak media untuk penulis mengekspresikan ide dan gagasannya.
Pertanyaan yang kini menjadi bahan bakar semangat untuk terus melanjutkan naskah buku yang tak kunjung usai. Parameter menjadi penulis salah satunya adalah berhasil menerbitkan buku. Walaupun di era digital saat ini, banyak media untuk penulis mengekspresikan ide dan gagasannya.
Hobi menulis sebenarnya telah saya lakoni semenjak duduk di bangku sd. Bagi teman-teman yang lahir di
era 80’ dan 90’an tentu masih ingat bagaimana guru kita sering mendikte, atau
mencatat buku pelajaran yang sukses membuat kita mengibaskan tangan karena
pegal. Catat Buku Sampai Abis (CBSA), begitu kita sering menyebutnya. Sebanyak
apapun catatan yang diberikan, saya selalu semangat untuk menulisnya. Aneh ya......^^
Padahal teman-teman kala itu banyak yang mengeluh atau ogah-ogahan mengerjakannya. Salah satu
peristiwa yang masih melekat sampai saat ini adalah mendapat pekerjaan rumah
membuat puisi ketika duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama. Saat dinilai
oleh guru bahasa Indonesia dan buku dikembalikan, nilai yang saya dapat bukan
berbentuk angka. tetapi tanda tanya besar disudut atas buku. Saat ditanyakan
kepada guru bersangkutan, katanya puisi yang saya buat adalah bukan karya
sendiri alias mencontek bin plagiat.
Oalahh.... terbayang rasa kantuk yang masih membayang karena mengerjakannya hingga larut malam. Dengan repleks, buku tulis saya banting dengan keras diatas meja. Sampai seluruh kelas terdiam dan termangu melihatnya. Mungkin mereka kaget melihat saya, sosok yang selama ini tampil kalem tiba-tiba bisa meluapkan amarahnya begitu rupa. Padahal guru Bahasa Indonesia masih duduk mengoreksi di kursinya. Ketika bel tanda istirahat berbunyi dan guru tersebut keluar kelas, tak berapa lama masuk siswa dari kelas lain meminta buku saya. selang beberapa waktu kemudian buku dikembalikan dan ketika membukanya nilai 90 menghias puisi yang telah dikerjakan dengan susah payah.
Mulai saat itu seolah terjadi perang dingin antara saya dan guru Bahasa Indonesia. Ajaibnya, setiap kali ada tugas atau ujian saya selalu mendapat nilai tinggi. heuheu.... (eh tetapi, karena murni usaha saya loh ya)
Oalahh.... terbayang rasa kantuk yang masih membayang karena mengerjakannya hingga larut malam. Dengan repleks, buku tulis saya banting dengan keras diatas meja. Sampai seluruh kelas terdiam dan termangu melihatnya. Mungkin mereka kaget melihat saya, sosok yang selama ini tampil kalem tiba-tiba bisa meluapkan amarahnya begitu rupa. Padahal guru Bahasa Indonesia masih duduk mengoreksi di kursinya. Ketika bel tanda istirahat berbunyi dan guru tersebut keluar kelas, tak berapa lama masuk siswa dari kelas lain meminta buku saya. selang beberapa waktu kemudian buku dikembalikan dan ketika membukanya nilai 90 menghias puisi yang telah dikerjakan dengan susah payah.
Mulai saat itu seolah terjadi perang dingin antara saya dan guru Bahasa Indonesia. Ajaibnya, setiap kali ada tugas atau ujian saya selalu mendapat nilai tinggi. heuheu.... (eh tetapi, karena murni usaha saya loh ya)
Saat duduk dibangku sekolah menengah atas, kebiasaan untuk
selalu menulis tak juga luntur. Bahkan menulis di buku diary menjadi kegiatan
rutin setiap hari. Hingga kini buku mungil bersampul hijau tua masih tersimpan
rapi di lemari, tersembunyi dibalik buku yang tersusun.
Kini, hobi merangkai kata seolah menjadi agenda wajib yang
selalu dikerjakan. Ketika niat telah dipancangkan, maka akan selalu ada jalan
untuk mewujudkannya. Bersyukur dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki
kapasitas keilmuan dalam dunia kepenulisan. Hingga kini rutin mengisi blog yang
sedang kamu baca saat ini, menjadi content
writer di beberapa situs internet (salah satunya refillmadu.com), beberapa
kali diminta mereview produk (buku, makanan, destinasi wisata). Sembari menuntaskan
impian memiliki buku yang harus terbit di tahun ini. Alhamdulillah, walau masih
hitungan recehan setidaknya berhasil
menjawab tantangan dari coach Tendi Murti, founder Komunitas Menulis Online, “mengubah
tulisan menjadi transferan.”
Ada kebahagiaan tersendiri setiap kali menyelesaikan tulisan.
Kebahagiaan yang jauh dari sebatas materi, rasa nyaman dan bahagia karena
berhasil menuangkan ide yang menumpuk di kepala kedalam bentuk tulisan hingga
dapat baca oleh banyak orang. Menulis merupakan sarana efektif untuk meluaskan
jangkauan kebaikan. Bayangkan, jika suatu saat kita telah meninggal kemudian
tulisan kita tetap dibaca oleh orang lain. Jika Ia mendapat manfaat dari
tulisan kita, kemudian menyampaikan kepada orang lain maka akan menjadi ladang
amal jariyah. Masya Allah....
Mengutip
apa yang disampaikan oleh Ustadz Salim A. Fillah, bahwa dengan menulis kita
merekam jejak-jejak pemahaman, mengikat ilmu, lalu melihatnya kembali untuk -sesekali-
menertawakannya. Ketika kelak timbangan kebaikan kita saat di Yaumul Hisab
lebih berat dari keburukan kita, maka langkah memasuki Jannah-Nya akan terbuka
lebar. Dan pintu-pintu kebaikan itu bisa kita dapatkan melalui tulisan yang
mampu memberi manfaat untuk orang lain. Bahagia bukan?
Sahabatmu,
Rahmad Al-Abror
0 Komentar